Selasa, 25 April 2017

Kawakibul Lama'ah fi Tahqiqi ma Yusamma Bi Ahlissunah wal Jamaah

berkata Alfaqir Ila Rahmati Robbihi Ahmad Abu Fadll bin Abd asy-Syakur yang bermuqim di Sinur (sebuah desa di Tuban, Jawa Timur), semoga Allah menyelamatkannya dari setiap bala bencana yang kelam. Sungguh kaum muslimin dewasa ini telah berpecah belah, berkelompok-kelompok dan bergolongan-golongan. Dan setiap firqoh (dari mereka) itu masing-masing mengaku bahwa firqoh dialah yang berada pada Assunah, Firqoh lainnya yang bid'ah…
وَ كُلُّ حِزْبٍ بِمَالَدَيْهِمْ فَرِحُوْنَ
" Dan setiap golongan oleh apa yang ada diri mereka merasa gembira
وكُلُّ فِرْقَةٍ بِرَأْيِهِمْ مُتَبَجِّحُوْنَ
Dan setiap firqoh pada masing-masng pendapatnya merasa berbangga hati "
Dan orang-orang lain kepada mereka itu menaruh hati dan pada simpati, sampai situasi dimana haqiqat Ahlussunah simpang siur bagi kebanyakan orang. Di antara mereka banyak saling bertanya-tanya tentang haqiqat Ahlussunah itu, bertanya-tanya tentang siapa yang berhaq mendapat predikat dengan nama itu.
Kemudian rasa iba saya terhadap nasib umat Islam timbul mendorong saya untuk menjelaskan masalah yang penting ini, mengeluarkannya dari situasi yang pelik ini. Maka saya susun Risalah ini. Saya namainya dengan nama Al-Kawakibul Lammaa'ah fi Tahqiqil Musamma bi Ahlissunnati Wal Jama'ah (Bintang-bintang yang berkilauan menyinari haqiqat nama AHLUSSUNAH WAL JAMA'AH) . Pada Allah-lah saya permohonkan taufiq, inayah, hidayah dan baiknya penjelasanDan inilah saatnya tandang tumandang dalam maksud utama tulisan ini dengan mengharap pertolongan Allah Yang Maha merajai serta Dzat yang berhak disembah.
PENDAHULUAN
Ketahuilah bahwasanya sesungguhnya kaum muslimin dijamanRasulullah shollallohu 'alaihi wasallam (w. Senin, 02 Robi'ul Awwal 11 H /08 Juni 632 M) adalah sebuah umat yang satu. Sehingga mereka belum pernah mengalami perbedaan baik dalam aqidah maupun dalam pengamalan, perbedaan yang mengantarkan pada perpecahan, tergolong-golong dan terkotak-kotak sebagaimana Allah sanjung di beberapa ayat pada kitab sucinya yang mulia.
Kemudian di kala Rasullullah wafat, jadilah Sayyidina Abu Bakar rodliallohu 'anhu (w. Selasa, 08 Jumadil Akhir 13 H) sebagai kholifah (pemimpin pengganti) bagi Beliau SAW. Selanjutnya setelah Beliau dengan penunjukan langsung (istikhlaf) dari beliau tampillah Sayidina Umar bin Khotthob (w. Jum'at, 29 Dzilhijjah 23 H) rodliallohu 'anhu menjadi Kholifah. Pada saat ini belum muncul dikalangan mereka perbedaan kecuali sedikit dari fihak yang tidak diperhitungkan perbedaannya. Kemudian setelah Kekhalifahan sampai pada Sayidina Utsman (w. Jum'at,29 Dzul Hijjah 35 H) rodliallohu 'anhu perbedaan mulai tampak jelas, sejelas-jelasnya. Dan begitu kekhalifahan Sampai ke tanganSayyidina Ali Karromallohu wajhah (w. 21 Ramadlan 40 H) perbedaan muncul memuncak, jelas sekali.
Nah disaat itu masyarakat berpecah belah, berbeda-beda pandangan dan keinginan. Maka muncullah suatu kelompok yang memberontak pada pemerintahan Sayyidina Ali rodliallohu 'anhu. Mereka mengibarkan bendera perlawanan dan memukul genderang peperangan terhadapnya. Itulah mereka yang kemudian dinamakan Kaum Khowarij. Dan nama inilah terus berlaku bagi orang yang menempuh perjalanan dan berpandangan sama dengan kelompok tersebut. Sementara itu muncul kelompok lain yang berlebihan dalam mencintai Beliau dan begitu kuat fanitismenya. Dan mereka melampaui batas dalam sikapnya itu. Itulah meraka yang kemudian dinamakan Kaum Syi'ah. Dan namanya terus disematkan pada orang bermadzhab kelompok ini sampai masa sekarang. Dan akhirnya kedua kelompok itupun terbagi-bagi lagi kedalam beberapa golongan yang lain.
Dan Masing-masing dari firqoh-firqoh itu menyerukan kepada orang-orang untuk mengikuti pandangan dan madzhabnya. Kemudian tak henti-hentinya setiap firqoh baru muncul, firqoh demi firoh sampai akhirnya masyarakat terpecah menjadi banyak firqoh. Serta Masing-masing dari firqoh-firqoh itu menyangka berada pada ajaran yang hak dan benar. Kemudian sampai di penghujung masa berakhirnya masa Tabi'in tampak muncul fiqoh lain yang menamakan dirinya Ahlul Adli Wat Tauhid. Dan mereka adalah Kaum Mu'tajilah.
Karena keadaan masa seperti itulah baru muncul yang namanyaAhlussunnah Waljama'ah bagi mereka yang senantiasa berpegang teguh pada Sunnah Nabi Besar SAW dan Jalan Para Sahabat dalam keyakinan keberagamaan, amal peribadahan lahiriyah dan akhlak bathiniyah. Maka ada sebagian orang di antara mereka yang menekuni pada penegakan hujjah-hujjah dan dalil-dalil masalah aqidah baik dalil aqli (argument rasional) maupun naqli (nash-nash al-Qur'an, Hadits dan ijmak), dinamakanlah dengan nama Mutakallimin atau Ulama Ahli Kalam. Ada sebagian yang menekuni pada ilmu-ilmu peribadahan, mu'amalah, munakahat, berfatwa tentang hukum-hukum, peradilan, dan lain-lain, maka dinamakanlah dengan nama Fuqohaatau Ulama Ahli Fiqih. Dan ada sebagian lagi yang menekuni pada menghimpun hadits-hadits Nabi, mengidentifikasi hadits shoheh dari yang lainnya dan sebangsanya, maka dinamakanlah dengan nama Muhadditsin atau Ulama Ahli Hadits. Dan ada sebagian lagi yang menekuni pada memperbanyak amal-amal lahir dan membersihkan hati dan jiwa dari akhlak-akhlak yang jelek, kemudian menghiasinya dengan akhlak-akhlak mulia, maka dinamakanlah dengan nama Shufiyyah atau Ahli Tashowuf.
Berkata Ibnu Khuldun dalam kitab Muqodimah-nya, "Sesungguhnya di dalam hukum fiqh yang digali dari dalil-dalil syar'I itu banyak sekali perbedaan (khilafiayah) di antara para ulama mujtahid sesuai dengan ketajaman hati dan fikirannya masing-masing, dengan perbedaan yang memang tidak bisa dihindari terjadinya. Perbedaan di dalam agama ini menjadi luas seluas-luasnya. Pada waktu itu bagi para muqollid mendapat keleluasaan untuk taqlid kepada orang yang dikehendakinya. Sampai pada saat dimana urusannya sampai pada para imam-imam yang empat – yang mana mereka berada pada citra tertinggi (dalam urusan ini) – maka masyarakat membatasi taqlidnya hanya pada imam-imam tersebut. Maka ditegakkanlah Madzhab Empat ini sebagai tonggak pokok dalam agama.
Dan sudah menjadi maklum bahwasanya para Imam Empat itu memiliki penguasaan yang lebih sempurna (daripada yang lainnya) dalam hal urusan aqidah, hadits-hadits Nabi, dan amal-amalan bathiniyah, sebagaimana yang tampak jelas bagi orang yang menghayati perjalanan hidup mereka tersebut. Hanya saja dikarenakan ilmu fiqh adalah yang terpenting di zaman itu maka mereka lebih banyak bergelut pada cabang ilmu itu. Adapun pabid'ahan-pabid'ahan dan nafsu keangkara-murkaan dalam urusan aqidah dan obat penawar hati, walaupun memang ada di zaman mereka itu akan tetapi gejala keburukannya belum beredar luas ke seluruh penjuru bumi serta belum besarnya bahaya pada seluruh umat manusia. Dan baru kemudian setelah Imam Empat itu tiada bertambah maraklah kesesatan dan pabid'ahan itu secara kuat dan meluas. Nafsu angkara-murka itu berhamburan dan menebarkan keburukan ke seantero jagat.
Pada zaman seperti itulah para imam-imam agama dari kalangan tokoh-tokoh madzhab empat tegak membela dan menjaga apa yang telah menjadi pedomannya, yaitu nilai-nilai aqidah yang telah pegangan Salafus sholeh. Sehingga pada saat dimana urusannya sampai pada Imam Abil Hasan 'Asy'ari (260-324 H) danImam Abi Manshur Maturidi (333 H) Rodliallohu anhuma.Mereka tegak membela dan menjaga apa yang para imam empat anut, yaitu perjalanan hidup Nabi Besar Shollallohu 'alaihi wa sallama dan perjalanan Para Shohabatnya. Yang pertama menganut Madzhabnya Imam Syafi'I Rodliallohu anhu dan yang kedua menganut madzhabnya Imam Abi Hanifah Rodliallohu 'anhu, sebagaimana yang akan dijelaskan kemudian. Mereka berdua mendapatkan citra tertinggi menurut pandangan masyarakat (muslimin). Mereka tercukupkan oleh madzhabnya kedua Imam tersebut. Maka jadilah mereka dua kelompok,Kaum 'Asya'iroh dan Kaum Maturidiyah. Kedua kelompok ini di antara firqoh-firqoh muslimin menjadi khusus di dalam tradisi keilmu'an untuk penamaan Ahlussunnah wal Jama'ah, sebagai pembedanya dari Kaum Mu'tajilah dan aliran-aliran bid'ah dan hawa nafsu yang lainnya.
Dan tatkala Ahli hadits dan Tashowuf terbukti tidak ada perbedaan dengan Kaum 'Asya'iroh dan maturidiyah maka mereka juga termasuk kedalam nama ini, yaitu Ahlussunnah Wal Jama'ah sebagaimana yang akan dijelaskan kemudian.
FASAL I Tentang Penjelasan Kelompok Orang yang dikatakan Kaum Ahlussunnah Wal Jama'ah
Berkata Syekh Syamsudin Muhammad Romly (1004 H) dalam kitab Syarah Minhaj, Ahli bid'ah adalah orang yang dalam aqidahnya menyalahi apa yang menjadi dasar pegangan oleh Ahlussunnah, yaitu apa yang menjadi dasar pegangan oleh Nabi Besar Shollallohu 'alaihi wasallama, para sahabatnya dan generasi setelahnya. Sedangkan yang dimaksud dengan Ahlussunnah di masa-masa terakhir ini adalah kedua Imamnya –yaitu Imam Abul Hasan 'Asy'ari (324 H) dan Imam Abu Manshur Maturidi (333 H)- dan para pengikut kedua Imam tersebut. "
Berkata Al'alamah Sayyid Murtadlo Zabidi (1205 H) pada fasal ke dua dari muqodimah syarah kitab Qowa'idil 'Aqo'id dari kitab Ihya, " Dimana-mana dilontarkan kata Ahlussunnah wal jama'ah maka yang dimaksud adalah 'Asy'iroh dan Maturidiyyah". BerkataSyekh Khoyali di dalam hasyiahnya pada syarah 'Aqo'id Annasafiyyah(buah karya Imam Najmuddin Umar bin Muhammad an-Nasafi, w. 537 H), " 'Asya'iroh adalah Ahlussunnah wal Jama'ah. Inilah merupakan yang masyhur di daerah-daerah Khurasan, Iraq, Syam (Siria) dan mayoritas penjuru negri-negri Islam. Sedangkan di daerah-daerah Sebrang Sungai kata itu suka dilontarkan untuk Maturidiyah, yaitu para sahabat Imam Abi Manshur"
Dan berkata Imam Kustulli di dalam hasyiyyahnya pada kitab syarah yang sama, " Yang Masyhur dari (isthilah) Ahlussunnah wal Jama'ah di daerah-daerah Khurasan, Iraq, Syam (Siria) dan mayoritas penjuru negri-negri Islam lainnya adalah Golongan 'Asya'iroh, yaitu para sahabat Imam Abi Hasan Asy'ari R.A. Beliau merupakan orang pertama yang bertentangan dengan Aba 'Ali Jubai (303 H) dan keluar dari madzhabnya, kembali padaAssunnah, yaitu perjalanan Nabi Besar Shollallohu 'alaihi wasallama, dan Jama'ah, yaitu perjalanan Para Sahabat-nya Rodliyallohu 'anhum. Dan yang masyhur dari kata itu di daerah-daerah Sebrang Sungai adalah Golongan Maturidiyyah, para sahabat Imam Abi Manshur Maturidi. Di kedua golongan ini memang ada sedikit perbedaan tentang beberapa masalah usuluddin seperti masalah Takwin, masalah istitsna', masalah imannya muqolid. Namun para ulama ahli tahqiq dari kedua golongan ini tidak membangsakannya pada bid'ah dan sesat. "
Dan berkata Syekh Ibnu Subki (727-771 H) dalam syarah kitab 'Aqidah Ibnul Hajib (w. 28 Sya'ban 630 H) "Ketahuilah bahwa Kaum Ahlussunnah wal Jama'ah seluruhnya sepakat pada satu aqidah tentang apa yang wajib bagi Allah SWT, para rosulnya, dan para malaikatnya serta apa yang jadi kewenangan Allah dan rosul-rosulnya, dan apa yang mustahil pada Allah Ta'ala, pada rosul-rosulnya dan malaikat-malaikatnya, Walaupun ada perbedaan di dalam tata-cara pengambilan dalil dan method-methode pencapaiannya atau di dalam limmiyyah (alas an-bagaimana) suatu perkara menjadi demikian. Maka Secara global, Mereka itu -menurut hasil penelitian- adalah ada 3 golongan :
1. Golongan Ahlul Hadits, sumber-sumber pijakannya adalah Dalil-dalil Sam'iyyah (naqli), yakni Kitab Suci Alqur'an, Sunnah dan Ijma.
2. Golongan Ahli pemikiran akal dan olah pikir. Mereka adalah 'Asy'ariyyah dan Hanafiyyah, yang Guru besarnya masing-masing adalah Imam Abul Hasan 'Asy'ari dan Imam Abu Manshur Maturidi. Merekalah yang sepakat dalam sumber-sumber dalil 'aqli bagi setiap capaian yang dibutuhkan di dalam pengambilan masalah syara. Merekalah yang sepakat dalam sumber-sumber dalil naqli di dalam perkara yang dicapai akal dalam hukum kebolehannya saja dan dalam sumber-sumber dalil 'aqli dan naqli di luar perkara tersebut tadi. Mereka sepakat dalam semua yang bersifat keyakinan kecuali dalam masalah takwin dan masalah taqlid.
3. Ahlul Wijdan wal Kasyaf. Mereka adalah Kaum Sufi. Sumber pijakannya adalah sumber pijakan yang dipakai oleh golongan ahli pikir dan Ahli Hadits pada tahap permulaannya dan oleh Ahlul kasyaf wal Ilham pada tahap akhirnya."
Harus diketahui bahwa masing-masing kedua Imam itu – Imam Abil hasan dan Imam Abi manshur Rodliallohu 'anhuma wa jazaahuma 'anil Islam khoeron - samasekali tidak membuat pendapat yang baru dan tidak pula membuat suatu madzhab tersendiri darinya. Sesungguhnya mereka hanya sebagai deklarator (Muqorrir) bagi madzhabnya Kaum salaf dan sebagai pembela bagi faham yang telah dianut oleh Para Sahabat Rosullulloh Shollallohu 'alaihi was sallama. Imam Yang pertama tegak membela dengan topangan nash-nash madzhab Imam Syafi'I serta apa-apa yang terkandungnya, yang kedua tegak membela dengan topangan nash-nash Madzhab Abi Hanifah serta apa-apa yang terkandungnya. Keduanya gencar berargumentasi menghadapi para penganut faham bid'ah dan sesat sampai tidak berkutik dan kehabisan perkataan dan pada kabur terbirit-birit dan kocar-kacir. Nah tindakan demikian itulah pada hakekatnya merupakan Jihad yang sejati, yang tadi telah diisyaratkan (dalam perkataan Sayyid Murtadlo Zabidi). Pembangsaan Ahlussunnah wal Jama'ah pada nama kedua Imam tersebut itu hanyalah memandang bahwa sesungguhnya masing-masing dari kedua Imam itu sekedar membangun ikatan berdasarkan jalan yang dianut Kaum Salaf, memegang erat dan menegakan Hujjah-hujjahnya dan bukti-bukti kebenarannya berdasarkan jalan tersebut. Dengan demikian maka orang yang mengikutinya dalam jalan pijakan serta dalil-dalilnya itu semua akan dinamakan 'Asy'ari atau Maturidi.
Diceritakan oleh 'Izzuddin bin Abdissalam (577-660 H) bahwa sesungguhnya 'Aqidahnya Imam 'Asy'ari telah diijmakan oleh golongan ulama Syaf'iyyah, Malikiyyah dan Hanafiyyah serta begitu pula oleh tokoh-tokoh utama ulama Hanabilah. Bersetuju dengan beliau terhadap hal ini seorang ulama yang semasanya, Syekh-nya ulama Malikiyyah, yaitu Abu 'Amr ibnul Hajib (w. 28 Sya'ban 630 H). Demikian pula halnya dengan Syekh-nya ulama Hanafiyyah, yaitu Jamaluddin Hushaeri. Imam 'Izzuddin bin Abdissalam juga mendapat pengakuan terhadap hal itu dariTaqiyyuddin Subki (685-756 H) menurut apa yang dikutip putranya, Tajuddin Subki (727-771 H). Dan Dalam perkataanSyekh Abdullah Mayuriqi ada terdapat kata-kata berikut, "Kaum Ahlussunnah dari Golongan Malikiyyah, Syafi'iyyah, dan mayoritas Hanafiyyah dengan menggunakan bentuk kata-katanya Imam Abil Hasan 'Asy'ari mereka melakukan pembelaan dan dengan menggunakan bentuk hujjahnya Beliau pula, mereka berhujjah."
Kemudian beliau menambahkan pula, "Bukanlah Abul Hasan itu Ahli Kalam pertama yang menggunakan konsefnya Kaum Ahlussunnah. Namun Beliau Hanya menempuh perjalanan para pendahulunya atau berdasarkan topangan sebuah madzhab terkenal yang kemudian Beliau menambahkan sisi hujjah dan penjelasannya bagi madzhab tersebut. Beliau sama-sekali tidak membuat materi perbincangan lain yang baru yang dibuatnya sendiri dan tidak pula madzhab lain yang berdiri sendiri dari ulama lainnya. Bukankah anda lihat bahwasanya Madzhabnya Ulama Madinah dibangsakan pada Imam Malik R.A. dan barangsiapa yang menganut madzhab-madzhab Ulama Madinah maka dikatakan dia itu Malikiy (Bangsa Maliki). Sedangkan Imam Malik hanya menempuh jalan para ulama pendahulunya saja dan terbukti sebagai orang yang paling bisa mengikuti mereka itu. Terkecuali memang begitu beliau yang dapat memberikan penjelasan dan penjabaran yang lebih sempurna maka penisbatannya tertuju padanya. Begitu pula halnya yang dialami oleh Abul Hasan Asy'ari. Tidak berbeda sama-sekali. Karena sesungguhnya tidak ada di madzhab salaf yang banyak baik penjabaran dan pensyarahan maupun komentar-komentar madzhab selain Imam Malik." Kemudian dia (Syekh Abdullah Mayuriqi)menghitung-hitung sekian banyak ulama dari Golongan Malikiyyah yang senantiasa mengadakan pembelaan terhadap Madzhab 'Asy'ari serta mengelompokkan orang yang menentangnya ke dalam kelompok aliran bid'ah.

Berkata Tajuddin Subki (727-771) : " Golongan ulama Malikiyyah adalah Kelompok orang yang paling khusus untuk nama 'Asy'ari, Karena Kami tidak kenal pada seorang Malikiy yang bukan 'Asy'ari. Hal ini berbeda dengan yang kami kenal pada golongan-golongan yang bukan...... Malikiyyah. Mereka memiliki kecenderungan faham yang bermacam-macam, Ada yang lebih condong pada faham mu'tajilah dan ada pula yang lebih condong pada faham Tasybih(menyerupakan Allah dengan makhluk-makhluk-Nya)walaupun memang mereka yang memiliki kecendrungan pada kedua faham ini adalah dari kelompok sempalan.

Dan diceritakan oleh Imam Ibnu 'Asakir (499-576 H) dalam kitab Tabyinul Muftari tentang Abal 'Abbas Al-Hanafi yang dikenal Qodlil 'Askar (Hakim Agungnya tentara). Beliau menerangkan bahwa Abal 'Abbas Al-Hanafi adalah sebagian dari imam-imamnya para sahabat Imam Abi hanifah R.A dan beliau itu termasuk Ulama terdahulu dalam ilmu kalam. Imam Ibnu 'Asakir menghikayatkan sejumlah pernyataan kalam darinya, "Maka dari sebagian perkataannya adalah :
"Saya melihat pada Imam Abil hasan 'Asy'ari terdapat bermacam-macam kitab yang banyak tentang fan ilmu ini, yakni fan usuludin. Kitab-kitab itu berjumlah hampir mencapai 200 kitab. Dan sedangkan kitab Mujazul Kabir itu muncul dengan kandungan meliputi seluruh isi yang ada pada kitab-kitab karangannya. Imam 'Asy'ari pernah mengarang kitab yang banyak sekali Untuk mentashih madzhab Mu'tajilah, karena dulunya beliau penganut madzhab Mu'tajilah. Tapi kemudian Allah memberikan cahaya terang yang menjelaskan padanya tentang kesesatan mereka. Lalu beliau keluar dari apa yang beliau telah yakini dari madzhab mereka. Dan beliau susunlah beberapa kitab yang membatalkan apa yang menjadi isi kitab karangan sebelumnya yang memang telah memperkuat faham Mu'tajilah. Dan Ternyata umumnya para ashab Imam Syafi'I pun menganut apa yang oleh Imam 'Asy'ari tetapkan. Para Ashab telah mengarang kitab-kitab yang banyak yang sesuai dengan isi kitab yang ditulis oleh Imam 'Asy'ari." Begitu tutur Abal 'Abbas Al-Hanafi.
Berkata Tajuddin Subki (727-771) : "Saya mendengar Ayahanda Syekh Imam berkata, "Apa-apa yang terkandung oleh Aqidahnya Imam Thohawi itulah yang diyakini oleh Imam 'Asy'ari, tidak menyalahinya kecuali dalam tiga masalah." Kataku (Murtadlo Zabidi) "Konon wafatnya Imam Thohawi di Mesir pada tahun 331 H. Jadi beliau sezaman dengan Imam Abil Hasan 'Asy'ari dan Imam Abi Manshur Maturidi" Saya dapat katakan bahwa wafatnya Imam Maturidi tahun 333 H. Wallohu A'lam.
Kemudian lebih lanjut Tajuddin Subki berkata, "Dan saya ketahui bahwa Para ulama madzhab Maliki seluruhnya berfaham 'Asya'iroh, tidak terkecuali seorangpun. Ulama madzhab Syafi'I pada galibnya menganut faham 'Asyairoh, tidak terkecuali selain yang menyerupai diantaranya kepada Para penganutTajsim(keyakinan bahwa Allah adalah jisim; benda, yang mempunyai ukuran, besar atau kecil) atau yang berhaluan mu'tajilah, yaitu orang yang tidak dipedulikan Allah SWT. Kemudian Para Ulama Madzhab Hanafi secara mayoritasnya merupakan 'Asya'iroh, yakni berkeyakinan 'aqidah Imam 'Asy'ri, tidak keluar dari fahamnya kecuali sebagian orang yang serupa dengan Mu'tajilah. Sedangkan Para Ulama Madzhab Hambali kebanyakan tokoh-tokoh utama terdahulunya adalah berfaham 'Asy'ari, tidak keluar darinya kecuali ada sebagian yang menyerupai Ahli Tajsim. Mereka yang mempunyai kecenderungan ini lebih banyak jumlahnya daripada unsur lain dari selain golongan Madzhab Hambali.
FASAL II Tentang Penjelasan Penggunaan Jenis Kata
Jika anda telah mengetahui hal demikian itu maka ketahuilah Bahwa suatu suku kata itu ada yang hakekat dan ada pula yangmajaz. Lalu masing-masing dari keduanya itu ada yang Lughowi, ada yang Syar'I, dan ada juga yang Urfi (bersifat tradisi, Adat Masyarakat) . Tradisi itu sendiri terdapat dua macam, ada yang khusus dan ada yang umum. Hakekat adalah suku kata yang digunakan dalam makna peruntukannya sejak pertamakalinya. Sementara Majaz adalah suku kata yang digunakan dalam makna peruntukannya pada kedua kalinya karena alasan yang mengharuskannya. Lughowi ialah suku kata yang dipakai oleh Ahli Lughot (Bahasa) karena sudah jadi ishtilah (sepakat) atau karena bimbingan langsung (dari Allah SWT). Contohnya seperti kata Asad (singa) diperuntukan untuk arti "binatang yang menerkam". Syar'I ialah suku kata yang dipakai oleh nara sumber (pembuat) syara', seperti kata sholat diperuntukan untuk arti praktek ibadah tertentu. Sedangkan 'Urfi adalah suku kata yang mula-mula dipakai oleh Tokoh Masyarakat Umum. Contohnya seperti kata dzaabbah diperuntukan untuk arti "binatang berkaki empat", seperti keledai. Secara lughot, dzaabbah adalah nama untuk segala sesuatu yang kumarayap di atas permukaan bumi. Atau (hal demikian itu) oleh Tokoh Masyarakat tertentu. Contohnya seperti kata "Fa'il" diperuntukan untuk suatu fungsi kata yang dikenal di kalangan Ulama Nahwu. Urfi 'Am adalah lafadh yang tidak tentu pengutipnya. Sementara 'Urf Khosh adalah lafadh yang tentu pengutipnya. Terkadang banyak pula lafadh yang digunakan oleh para pemangku agama untuk arti tertentu dinamakan syar'I.
FASAL III Tentang Proses Pemaknaan suatu lafadz
Jika telah dipahami hal tersebut di atas itu maka ketahuilah bahwa suatu lafadz itu wajib dimaknai terhadap kebakuan si pembicara. Maka Lafadz yang datang dalam pembicaraanya nara sumber agama harus dimaknai dengan makna syar'I, walaupun itu memiliki makna 'urfi atau lughowiatau memiliki makna keduanya karena sesungguhnya makna syar'I merupakan 'urf-nya syara. Lalu bila itu tidak memiliki makna syar'I atau memiliki makna syar'I tapi ada sesuatu yang dapat membelokan makna dari makna syar'I tersebut maka pemaknaanya adalah makna urfi 'am.Kemudian jika tidak terdapat makna 'urfi 'am atau terdapat makna 'urfi 'am tapi ada sesuatu yang membelokan dari makna tersebut maka pemaknaanya adalah makna lughowi karena pada keadaan demikian menjadi satu-satunya. Demikian pula dengan lafadz yang datang dalam pembicaraannya para pemangku 'urf khos, maka sama dimaknai dengan makna yang telah pada mereka kenal. Maka bila ada seorang ahli nahwu yang berkata, umpamanya, "Fungsi fa'il harus di-rofa'-kan sedangkan maf'ulnya harus di-nashab-kanmaka wajib pemaknaan rofa', nashab, fa'il, dan maf'ul dengan makna-makna yang telah dikenal dalam cabang ilmu nahwu, tidak yang lainnya.
FASAL IV Tentang Arti Kata Sunnah dan Kata Jama'ah
Jika sudah tahu begitu maka ketahuilah bahwa lafadz sunnahdiungkapkan untuk beberapa makna dari segi bahasanya. Berkata Imam Muhammad Syaerozi (729-817 H) dalam kitabnya Qamus Muhith wa Qobus Wasith, "Sunnah dengan mendlommahkan (huruf sin) bermakna macam-macam, yaitu :
1. Wajah, bagian wajah sebelah atasnya, daerah sekitar wajah, bentuk, dahi, atau dahi serta kedua alisnya.
2. Perjalanan (sejarah)
3. Tabi'at
4. Salah satu jenis kurma di Madinah
5. Dan kalau dari Allah, maknanya bisa : hukumnya, perintahnya, dan larangannya."
Berkata Sayyid Murtadlo Zabidi (1205 H) dalam syarah kitab Ihya " Dan Sunnah adalah "jalan yang ditempuh"." Kemudian dalam segi syara, kata sunnah diungkapkan untuk beberapa makna juga, diantaranya :
1. perjalanan dan jalan yang ditempuh Nabi Besar SAW.
2. Suatu pekerjaan yang diberi pahala orang yang mengerjakannya, dan tidak akan disiksa orang yang meninggalkannya.
Dan juga ketahuilah bahwa lafadz jama'ah diungkapkan secara bahasa untuk makna setiap sesuatu perkumpulan tiga dan atau lebih. Suka dikatakan jama'atun Naas (perkumpulan orang-orang), jama'atut thoer (perkumpulan burung), jama'atud dhiba' (perkumpulan rusa), dan lain sebagainya. Dan suka diungkapkan secara syara untuk beberapa makna, diantaranya :
1. ikatan seseorang untuk sholatnya pada sholatnya orang lain dengan memakai syarat-syarat tertentu.
2. Kumpulan kaum muslimin melalui seorang pemimpin yang dilantik oleh Ahlulhal wal 'Aqdi (semacam dewan perwakilan masyarakat, terdiri dari unsur Ulama dan Tokoh Masyarakat) dengan syarat-syarat yang diakuai, seperti lafadz jama'ah dalam suatu hadits :
 مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ فَمِيْتَتُهُ مِيْتَةٌ جَاهِلِيَّةٌ . رواه مسلم
Artinya : "Barangsiapa yang berpisah dengan jama'ahnya sejengkal saja lalu dia itu mati maka
kematiannya adalah kematian bangsa jahiliyyah." Hadits Riwayat Imam Muslim.
FASAL V Tentang kesimpulan dari Fasal-Fasal Yang Lalu
Jika sudah tahu begitu maka ketahuilah bahwa lafadz sunnah wal jama'ah adalah lafadz 'urfi yang dibuat oleh keempat kelompok tadi, yakni :
1. Muhadditsin
2. Shufiyyah
3. 'Asya'iroh
4. Maturidiyyah
sebagai penamaan bagi mereka sendiri karena aqidah yang mereka yakini, yaitu bahwa mereka menganut Sunnah, yaitu perjalanan Rosulillah Shollallohu 'alaihi wasallama dan perjalanan para sahabatnya, para tabi'in, dan tabi'ittabi'in. Dan nama ini tetap lestari sampai hari ini. Hal ini berlaku juga bagi dia yang menganut madzhab keempat kelompok tersebut. Dan jadilah nama Ahlussunnah wal jama'ah menurut vonis 'urf merupakan nama (proper noun) bagi keempat kelompok tadi. Artinya, jika nama itu diungkapkan maka maksudnya tidak mengarah kecuali pada keempat kelompok tadi, sebagaimana yang telah dahulu dikutip dari pensyarhil Ihya' (Sayyid Murtadlo Zabidi) yaitu ucapannya : " Dimana-mana dilontarkan kata Ahlussunnah wal jama'ah…(dan seterusnya)" . Dan beliau berkata pula dalam permulaan Syarhil Risalah Qudsiyyah dari kitab Ihya, " Sedangkan yang dimaksud dengan Ahlussunnah ialah yaitu Golongan Yang Empat itu : Muhadditsin, Shufiyyah, 'Asya'iroh, dan Maturidiyyah " karenanya jika sudah tahu begitu maka dapat diketahui bahwa tidak boleh kita mengungkapkan kata Ahlussunnah wal jama'ah untuk selain Keempat Golongan Tadi.
MASALAH I
Jika dikatakan,: "Bolehkah dikatakan pada masa kini bagi orang yang tidak taqlid kepada
Sebuah madzhab dari Madzhab Empat, serta dia menduga bahwasanya dia itu seorang mujtahid, "bahwa dia itu Ahlussunnah wal jama'ah" ?"
Saya jawab : "Tidak boleh !!"
Karena dia bukan dari kalangan ahli hadits, bukan dari Shufiyyah, bukan dari 'Asya'iroh, dan bukan pula dari Maturidiyyah. Adapun alasan mengapa dia tidak termasuk katagori Ahli hadits, tiada lain karena alas an-alasan yang nanti akan dijelaskan. Sedangkan alas an mengapa dia tidak termasuk katagori shufiyyah, maka (alasannya) sudah jelas, yaitu karena meraka yang melemparkan Madzhab Empat itu sebagian dari terkerasnya orang yang mengingkari Golongan Shufiyyah. Lalu alas an apa dia tidak termasuk golongan 'Asyairoh serta tidak pula Muturidiyyah. Alasannya adalah karena sesuatu alasan yang terdahulu, yaitu bahwasanya Imam Abul Hasan 'Asy'ari berdiri tiada lain dengan berpegang nash-nash madzhab Imam Syafi'i. Sementara Imam Abu Manshur Maturidi berdiri tiada lain dengan berpegang nash-nash madzhab Imam Abi Hanifah. Dan telah dijelaskan pula bahwa Golongan Madzhab Maliki semuanya 'Asya'iroh. Dan begitu pula para tokoh ulama dari madzhab Hanbali sama-sama 'Asya'iroh. Juga telah dahulu dijelaskan bahwa Para ulama ahli madzhab Empat semuanya 'Asya'iroh dan Maturidiyyah kecuali memang orang yang terpengaruh dengan faham tajsim (keyakinan bahwa Allah adalahjisim; benda, yang mempunyai ukuran, besar atau kecil) dan faham mu'tajilah. Karenanya, mestilah dari tidak adanya taqlid kepada salah satu madzhab empat berarti tidak terbukti penganut faham 'Asy'ari atau faham Maturidi. Kemudian akhirnya terbukti dari tidak termasuknya dalam salah satu madzhab empat maka pastilah bukan dari Ahlussunnah wal jama'ah karena alasan tadi, yaitu bahwa Nama ini merupakan nama khusus untuk Golongan Yang Empat itu di dalam 'urf.
MASALAH II
Jika ada yang berkata, :
"Kalian mengakui ahli hadits itu dari bagian Ahlussunnah wal jama'ah. Sementara kami juga Adalah ahli hadits karena sesungguhnya kami membuang Madzhab empat untuk kembalipada Al-Qur'an dan Hadits Nabi. Nah bagaimana bisa kalian tidak mengakui kami termasuk Ahlussunnah wal jama'ah ?"
Jawabannya : "Sesungguhnya bahwa lafadz hadits atau muhaddits sebagian dari lafadz-lafadz yang diishthilahkan oleh para ulama ahli hadits untuk makna yang khusus. Bentuk isthilahnya adalah bahwa mareka telah membuat lafadz itu sebagai nama bagi orang yang telah memenuhi syarat-syarat yang berlaku munurut mereka. Maka wajib memaknai lafadz itu tatkala diungkapkan terhadap makna yang sudah pada dikenal di kalangan mereka.
Karena itulah Imam Ibnu Subki (771 H) pernah berkata dalam kitabnya Mu'idun Ni'am wa Mubidun Niqom :
المحدث من عرف الأسانيد و العلل وأسماء الرجال والعالى والنازل وحفظ مع ذلك جملة مستكثرة من المتون وسمع الكتب الستة ومسند أحمد وسنن البيهقى ومعجم الطبرنى وضم إلى هذا القدر ألف جزء من الأجزاء الحديثية كان ذلك أقل درجاته فإذا سمع ما ذكرناه ودار على الشيوخ وكتب الطباق وتكلم فى العلل والوفيات والأسانيد عد فى أول درجات المحدثين ثم يزيد الله تعالى من شاء ماشاء اه
Berkata Imam Al-Hafidh Sakhowi (902 H) dalam al-Jawahir wad Duror, "Yang terbatas hanya pada mendengarkan (hadits) tidak bisa dinamakan muhaddit. Dan diriwayatkan dari Imam Malik bahwa yang terbatas pada mendengarkan saja tidak boleh diambil ilmu darinya."
Dan oleh sebab itu anda akan tahu bahwa orang yang membuang Madzhab Empat dan kemudian beralih pada hadits sedangkan dia belum memenuhi Syarat-syarat yang tersebut di atas maka dia itu belum termasuk dari Ahli Hadits menurut 'urf. Maka belum pula termasuk Ahlussunnah wal jama'ah. Seorang insan tidak akan menjadi ahli dalam sebuah bidang ilmu dengan hanya menggelutinya dan menekuninya sehingga ilmunya sampai meliputi sebagian besar masalah-masalahnya dan jadi menyatu dalam jiwanya. Ahli nahwu dengan hanya menggeluti dan ketekunannya pada fiqh atau nahwu kecuali jika fiqh atau nahwunya telah menjadi melekat pada jiwanya. Apalagi ini orang yang tak ada pengetahuan tentang hadits kecuali namanya saja atau dia tidak mempuyai ilmu kecuali beberapa hadits yang tersebar di dalam isi kitab-kitab yang memang bukan dari antara kitab-kitab hadits atau berserakan pada lembaran-lembaran berbagai jilid kitab dan koras. Maka tentu saja orang seperi itu samasekali tidak termasuk hitungan dari kalangan ahli hadits.
MASALAH III
Jika dikatakan : "Bagaimana bisa kalian memperhitungkan Kaum shufiyyah dari Ahlussunnah wal jama'ah ? sedangkan telah dikatakan bahwa mereka itu mengambil ilmu dari Kaum Budha India dan para ahli filsafat Yunani. Karenanya, mereka itu kalau tidak termasuk kafir maka (minimal) fasiq, sebagaimana dalam kitab Akhlaq lilghozali karangan DR. Zakky Mubarok Mesir, juga seperti yang dikutip oleh Sayyid Zabidi (1205 H) dari Al-Maziri ( 536 H / 1142 M) dalam muqoddimah Syarah Ihya."
Saya jawab : "Semoga terhindar dari hal seperti itu dan Janganlah begitu ! Melainkan mereka itu orang-orang muslim pilihan dan sebagai sosok-sosok muslim unggulan. Karena haqiqat dari Shufi itu adalah seorang alim yang mengamalkan ilmunya dengan penuh keikhlasan. "
Berkata Ibnu Subki (771 H) dalam kitab Jam'ul Jawami' : "Dan sesungguhnya ajaran Syekh Junaed (297 H) dan para sahabatnya merupakan ajaran yang lurus." Dan berkata pula Syekh Jalaluddin Mahalli (769-864 H) dalam Syarah Jam'ul jawami' : "Karena sesungguhnya ajaranya itu luput dari bid'ah, beredar pada ketundukkan dan kepasrahan (pada Allah SWT) dan terbebas dari hawa nafsu. Di antara pernyataan dari Syekh Junaed (297 H) adalah : "Semua jalan menuju Allah SWT itu tertutup terhadap semua makhluknya kecuali terhadap orang-orang yang mengikuti jejak-jejak rosulullah Shollallahu 'alaihi wasallama.
Berkata Qutbul Aulia Abdul Wahhab Sya'roni (899-973 H) dalam Muqoddimah Tobaqotus Shufiyyah, "Kemudian ketahuilah wahai saudaraku rohimakalloh sesungguhnya ilmu tashowuf itu…
أَنَّ عِلْمَ التَّصَوُّفِ عِبَارَةٌ عَنْ عِلْمِ انْقَدَحَ فِىْ قُلُوْبِ الْأَوْلِيَاءِ حِيْنَ اسْتَنَارَتْ بِالْعَمَلِ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ (مع الإخلاص)
 …adalah sebutan bagi suatu ilmu yang terwadahi dalam hati para aulia ketika menjadi terang benderang oleh pengamalannya pada Kitab Suci Al-Qur'an dan Sunnah Rosul. Maka setiap yang bisa mengamalkan keduanya itu akan tampak baginya dari pengamalan itu berbagai ilmu, adab-kesopanan, rahasiah-rahasiah bathin, dan segala haqiqat sesuatu yang tak teruraikan dengan kata-kata, setara dengan apa yang tampak pada para ulama pemangku Syari'at, yaitu hukum-hukum (furu') tatkala mereka mengamalkan apa yang mereka telah ketahui dari hukum-hukum syari'at itu.Maka Ajaran Tashowuf itu adalah merupakan intisari dari pengamalannya seorang hamba pada hukum-hukum syari'at jika amalannya itu telah terbebas dari berbagai macam penyakit bathin dan keinginan hawa nafsu. Seperti halnya ilmuma'ani dan bayan merupakan intisari dari ilmu nahwu. Lalu orang yang menjadikan ilmu tashowuf sebuah cabang ilmu yang mandiri maka dia itu benar dan yang menjadikannya sebagai intisari hokum-hukum syari'at maka dia juga benar. Tak berbeda halnya dengan orang yang menjadikan ilmu ma'ani dan bayan sebuah cabang ilmu yang mandiri maka dia itu benar dan yang menjadikannya sebagai bagian dari ilmu nahwu dia juga benar. Namun masalahnya adalah tidak akan terhirup dalam hati bahwa ajaran tashowuf itu merupakan intisari dari syari'at kecuali oleh orang yang (melaut) luas dan dalam di dalam ilmu syari'atnya sehingga dia dapat mencapai puncak tertinggi. Sementara telah ijma Kaum Ini bahwa tidak patut untuk tampil dalam ajaran thoriqoh menuju Allah 'azza wa jalla kecuali orang yang telah luas dan dalam ilmu syari'atnya serta telah mengetahui semua makna syariat baik yang tersurat maupun yang tersirat, baik yang khusus maupun yang umumnya, baik nasikh maupun mansukhnya dan memiliki kemampuan yang luas dalam bahasa Arab sampai mengetahui bermacam-macam bentuk majaz dan isti'arah dan sebagainya. Karena itu maka setiap ahli tashowuf pastilah seorang faqih tapi tidak sebaliknya."
Dan berkata Yang dipertuan dalam golongan ini yaitu Imam Junaed (297 H) Rodliallohu 'anhu : "Madzhab kita ini terikat pada dasar-dasar Kitab Suci Al-Qur'an dan Sunah" Juga beliau katakan : "Barangsiapa yang belum sempat hapal Al-qur'an dan belum menulis hadits maka dia itu tidak berhak diikuti di dalam urusan ini, karena sesungguhnya ilmu pengetahuan kami ini terikat pada Kitab dan Sunnah."
Dan Berkata Qutb Abdul Wahhab Sya'roni (899-973 H), "Ternyata Syekh 'Izzuddin bin Abdis Salam Rodliallohu 'anhu(577-660 H) selalu mengatakan setelah ikut bergabung dalam ajaran Syekh Abil Hasan Syadzili Qoddasallohu sirrohu (Lahir : 593 H./1197 M, wafat : Dzulqo'dah, 656 H./1258 M) dan setelah ikut memberi pengakuan bagi Kaum (Shufi) ini, "di antara dalil terkuat yang menunjukan bahwa Golongan Syufiyyah berada pada asas agama yang terkokoh adalah apa yang suka terjadi pada mereka yaitu Karomahnya dan kejadian-kejadian luar biasanya. Dan tidak akan terjadi apapun dari yang demikian itu bagi seorang faqih kecuali kalau dia itu telah menempuh ajarannya Kaum Shufi, sebagaimana hal itu telah jelas terbukti."
Beliau menambahkan : " Dan konon Syekh 'Izzuddin bin Abdis Salam Rodliallohu 'anhu sebelumnya bersikap menentang terhadap Kaum Shufi ini. Beliau suka mengkritik, "Adakah bagi kita thoriqoh lain selain thoriqohnya Kitab Suci Al-Qur'an dan Sunah Nabi." Kemudian tatkala beliau merasakan suka dukanya dunia shufi dan dapat memutuskan rantai besi hanya dengan sehelai daun maka beliau memuji-muji Kaum Sufiyyah ini setinggi-tingginya."
Itulah merupakan hal inti dalam ajaran tashowuf dan tentang kehidupan orang-orang jujur dari kalangan Sufiyyah. Adapun orang yang mengaku-ngaku bahwa dirinya menempuh ajaran Shufisedangkan dia itu bukan dari golongan shufiyyah maka tidak perlu lagi ada perbincangan .... ....tentangnya, karena sesungguhnya mereka itu mengaku bertashowuf namun tidak memenuhi syarat-syaratnya. Sementara yang namanya syarat itu adalah timbulnya ketidak-beradaan sesuatu dari ketidak-adaannya. Oleh sebab itu, maka barangsiapa yang menghakimi seluruh Kaum shufiyyah dengan kreteria hokum mereka yang mengaku Shufi namun nyatanya hanyalah para pembohong maka dia sungguh telah berbuat kesalahan besar, karena dia telah menghakimi suatu perkara dengan kreteria hokum untuk perkara lain. Orang itu tak bedanya seperti orang melihat potret kuda lalu dia katakan "Inilah kuda dan setiap kuda suka meringkik jadi ini suka meringkik" sembari menunjuki potret tersebut. Seperti itulah (yang dalam fan mantiq) dinamakan dalilsafsathoh, yang sering digunakan oleh para penentang untuk mengecoh dan menarik hati orang-orang awam yang berpikiran dangkal dan sempit. Para penentang itu adalah orang yang selalu bersikap berlebihan, melampaui batas. Bahkan orang yang menghukumi bahwa para pengaku shufi itulah yang termasuk Golongan Shufiyyah dengan pengertian umum itu telah berbuat kesalahan juga, karena telah menghakimi hal global dengan hukum parsial. Seperti halnya seorang hakim yang melihat buaya yang sedang menggerakan rahang atasnya lalu dia katakan, "Ini adalah seekor hewan, berarti setiap hewan dapat menggerakan rahangnya yang atas." Tak keliru lagi bagi orang yang berakal , sebagai pusaka terendah sekalipun, akan payahnya pernyataan tersebut. Berarti orang yang melihat seorang manusia gila lalu dia katakan, "sesungguhnya dia ini gila, tetapi dia seorang manusia, berarti setiap manusia itu bisa gila." Kalau demikian tak disangsikan lagi bahwa orang itulah yang gila.
Inilah kiranya kadar yang cukup sebagai jawaban bagi orang yang dilindungi taufiqnya. Akan tetapi lain halnya dengan orang yang terbiarkan (sesat) yang tidak mendapatkan manfa'at apapun dari proses kebenaran ini. Dia malah berkata bahwa proses ini hanyalah untuk memperindah dan penghias semata.
MASALAH IV
Jika ditanyakan : "Apa yang anda katakan tentang mereka yang menyingkirkan Madzhab Empat di masa kini kemudian mereka duga bahwasanya mereka pun para mujtahid mutlak dalam masalah agama dan juga menduga sesungguhnya mereka berpegang teguh tiada lain hanyalah pada Al-Qur'an dan Hadits-hadits Nabi ?"
Saya jawab : Sesungguhnya mereka itu suatu kaum yang penuh kebingungan tentang urusan
agamanya. (Anda lihat) begitu kacau-balaunya pendapat-pendapatnya. Jalannya
terombang-ambing tak menetap pada satu pijakan…
" تَحْسَبُهُمْ جَمِيْعًا وَقُلُوْبُهُمْ شَتَّى
" Kamu sangka mereka itu bersatu padahal hatinya berbeda-beda "
Mereka mengaku-ngaku ijtihad sementara mereka bukan dari jajaran ahli ijtihad. Mereka mengingkari taqlid sementara mereka terbelenggu dengan belenggu taqlid. Mereka tidak mau bertaqlid kepada Imam-imam mujtahid terdahulu tetapi mereka bertaqlid kepada pemuka-pemukanya yang tersesat. Mereka mengharamkan taqlid sedang mereka sendiri para pentaqlid. Mereka mewajibkan ijtihad sedangkan mereka sendiri tidak mempunyai kemampuan untuk ijtihad. Adalah sebuah kaum yang dipermainkan hawa-nafsunya sendiri, tercerai-berei oleh 'aqidah-'aqidahnya, dan dikuasai oleh keinginan-keinginannya sendiri dan diliputi oleh kegelapan syubhah-syubhah (pernyataan-pernyataan yang dilontarkan untuk mengaburkan hal yang sebenarnya). Sampai-sampai mereka berkeyakinan bahwa terikat kepada salah-satu Madzhab Empat itu merupakan penghalang antara mereka dan keinginan hasratnya dan sebagai tirai penghalang untuk mencapai hawa nafsunya sendiri. Nah tatkala mereka mempunyai pemikiran seperti itu maka ditinggalkanlah Madzhab-madzhab itu secara total sebagai sikapnya untuk meraih cita-citanya yang rendah itu. Lalu mereka berpegang kepada sesuatu yang tak ada kemampuan dan kekuatan untuk melakukannya, yaitu ijtihad tadi. Mereka di ujung yang satu sementara dunia ijtihad di ujung yang satunya lagi. Memang betul ! Mereka itu para mujtahid dalam hal melepas ikatan tali taqlif , supaya dapat mecapai apa yang mereka inginkan. Bukankah mereka suka mengatakan, "Kami ini adalah orang-orang yang merdeka akal dan pikirannya. Kami akan dapat mencapai puncak kesempurnaan ilmu dan kekuatan berpikir." Betul ! Sesungguhnya Mereka adalah orang-orang yang merdeka akalnya, tapi dalam hal mengikuti syahwat dan memenuhi kebutuhan, yang memang yang dapat mengantarkannya pada penghalalan sebagian perbuatan haram, meninggalkan sebagian kewajiban dan pengharaman sebagaian perbuatan sunat. Dengan demikian mereka terlepas bebas dalam kubangan syahwat seperti halnya binatang-binatang, yang terlepas bebas dalam semak-semak belukar. Kalau mereka itu tidak cukup laik dinamai Ibahiyyin (faham menghalalkan segala cara untuk mencapai suatu tujuan)1) maka yang paling pantas mereka itu kalau dinamai Hasyawiyyin.
Berkata Imam Taqiyyudin Subki (685-756 H) :
"Adapun Kaum Hasyawiyyah itu adalah golongan sempalan yang membangsakan dirinya kepada Imam Ahmad (164-241 H)Rodliallahu 'anhu . Padahal Imam Ahmad sendiri terbebaskan dari mereka. Yang menjadi sebab penisbatan mereka pada beliau adalah bahwa Beliau Rodliallahu 'anhu senantiasa tegak (membela faham ahlussunnah wal jama'ah)di dalam menolak faham mu'tajilah dan tetap tegar dalam kesengsaraan dan kepedihan (yang dialaminya). Dari Beliau dikutip beberapa pernyataan yang oleh orang-orang bodoh itu (Kaum Hasyawiyyah) tidak dapat dipahaminya. Lalu mereka meyakinkan I'tiqod yang buruk ini kemudian jadilah yang terakhir dari mereka itu megikuti pendahulunya, kecuali orang-orang yang terpelihara oleh Allah SWT. Mereka tak henti-hentinya sejak kemunculannya itu sebagai kaum rendahan yang tidak memiliki seorang pemimpin, dan tidak pula orang yang pandai ber-munadhoroh (berargumen untuk mempertanggungjawabkan pendapatnya). Di setiap waktu hanyalah koaran-koaran suara tak berarti yang dimilikinya. Mereka hanyalah menggantung hidupnya pada sebagian penguasa-penguasa pinggiran. Tetapi Allah senantiasa mengekang keburukannya itu. Dan tidak semata-mata mereka ketergantungan pada seseorang kecuali mendatangkan kejelekan baginya. Mereka berbuat kerusakan terhadap tatanan itiqodnya jema'ah-jema'ah arus kecil dari Golongan Syafiiyyah dan ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------1) berkata Hadlrotus Syekh Hasyim 'Asy'aridalam Risalah Ahlussunnah Wal Jama'ah : " Dan di antara mereka adalah Golongan Ibahiyyun, yang mengatakan bahwa seorang hamba jika telah sampai pada puncak mahabbah, telah jernih hatinya dari kelalaian dan telah memilih iman daripada kufur dan kekufuran maka menjadi gugurlah darinya tugas amar ma'ruf nahyi mungkardan Allah tidak akan memasukannya ke dalam neraka akibat melakukan dosa-dosa besarnya. Sebagian mereka ada yang mengatakan bahwa dia telah gugur darinya kewajiban-kewajiban ibadah dhohir. Dan kini ibadahnya hanyalah tafakur dan memperbaiki akhlak-akhlak bathin.
yang lainnya, terutama sebagian muhadditsin (mungkin maksud beliau para pelajar hadits) yang kurang kecerdasannya atau yangdikuasai oleh orang telah menyesatkannya. Lalu jema'ah-jema'ah ini ikut-ikutan meyakinkan bahwa Mereka itu berqaol-ria berdasarkan hadits.
Dan sesungguhnya Konon seorang tokoh muhadditsin yang paling utama di zamannya di Damaskus, yaitu Imam Ibnu Asakir (499-576 H), tidak mau mengajarinya mereka hadits dan tidak membolehkan mereka hadir di majlis-tahditsnya. Hal itu terjadi pada masa kesultanan Nuruddin Syahid (Sulthan Mahmud bin Zakka, wafat pada bulan Syawal tahun 569 H. Beliau merupakanpendahulu dari sulthan Shalah ad-Din Yusuf al-Ayyubi (w. Shofar 589 H)). Dan nyatalah mereka itu merupakan orang-orang rendahan serendah-rendahnya. Kemudian di penghujung abad ke-7 muncul …..
رجل له فضل ذكاء (يعنى ابن تيمية) ولم يجد شيخا يهديه
seseorang yang memiliki keunggulan berpikir (yakni Ibnu Taemiyyah, 661-728 H) tapi tidak mendapatkan guru yang mengarahkannya. Dia penganut madzhab Kaum Hasyawiyyah, sekaligus sebagai orang pemberani nan intens untuk meyudisfikasi madzhabnya. Dan dia mendapatkan temuan-temuan yang keluar jauh sekali (dari rel kebenaran). Lalu dengan beraninya dia mewajibkan sendiri menggunakan temuan-temuannya itu. Lalu demikian dia mulai menyampaikan pendapat (yang aneh-aneh), diantaranya :
1. Tegaknya sifat-sifat makhluk pada Dzat Tuhan Subhanahu wa ta'ala
2. Bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta'ala tidak henti-hentinya yang mengerjakan (fa'il)
3. Tasalsul (keadaan berantai pada makhluk sehingga tidak ada berujung dan berkesudahan) bukan suatu hal yang mustahil pada kejadian yang lampau, seperti halnya pada kejadian yang akan datang juga.
Dengan demikian Dia telah memutuskan tongkat (perjuangan agama; Jama'ah Islam), telah merecoki sendi-sendi aqidah kaum muslimin, dan menanam bibit (permusuhan) di antara mereka. Sikapnya itu tidak hanya terbatas pada urusan aqidah dalam ilmu kalam tapi juga melebar jauh dari itu (sampai pada urusan furu', diantaranya seperti ) Dia mengatakan :
1. bahwasarnya perjalanan jiarah ke Nabi Besar sollallohu 'alaihi wasallam merupakan pekerjaan maksiat.
2. Bahwasanya melakukan talaq tiga itu tidak jatuh talaq.
3. Bahwasanya orang yang bersumpah akan mentalaq istrinya dan kemudian terkena (tebusan) sumpahnya maka tidak jatuh talaq.
Para ulama sefakat untuk memenjarakannya dengan masa penjara yang lama. Untuk itu, Sang Sulthan, Raja Muhammad ibnu Qowalun (w. 741 H) memenjarakannya dan melarangnya untuk membuat karya tulis selama dipenjara dan juga membawa tinta masuk penjara (peristiwa itu terjadi tahun 722 H). kemudian tak lama setelah itu muncul orang yang menyebar luaskan faham-fahamnya serta mengajarkan masalah-masalah furu' (pendapatnya) dengan menanamkan ke orang-orang secara diam-diam dan menyembunyikannya secara terang-terangan, maka dengan demikian menjadi merebak luaslah hal-hal yang membahayakan (agama). Sampai didapati oleh saya di zaman ini sebuah rangkaianqoshidah yang bait-baitnya mencapai sekitar 6000 bait. Padanya diceritakan faham-faham ibnu Taemiyyah dan faham-faham orang lainnya. Qoshidah tersebut adalah qoshidahnya Ibnu Zafil, seorang laki-laki dari kalangan Madzhab Hanbali. Dia membantah, di dalamnya, faham Imam 'Asy'ari dan yang lainnya dari jajaran Imam-imam sunnah dan menjadikannya Kaum Zahmiyyah suatu kali dan orang-orang kafir pada kala yang lain. Ibnu Zafil menyangka dengan kebodohannya bahwa faham Ibnu Taemiyyah itu adalah fahamnya Ahli Hadits.
Lalu saya dapatkan Qoshidah ini adalah merupakan karangan tentang ilmu kalam yang para ulama melarang mendalaminya, kalau saja itu merupakan sesuatu yang haq, dan tentang penetapan faham-faham bathil yang dengannya dapat mengugguli orang dan ada lagi unsur tambahan lainnya dari kedua unsur tadi, yaitu dapat menjerumuskan masyarakat awam pada sikap mengkafirkan orang selain dirinya dan selain golongannya. Maka dengan demikian ini adalah tiga materi yang ketiganya itu merupakan himpunan dari isi yang terkandung dalam Qoshidah ini.
Yang pertama dari tiga materi itu adalah haram hukumnya, karena larangan dari ilmu kalam kalau bentuknya saja sudah larangan tanzih tentang masalah yang kebutuhan menuntut kita membantah ahli bid'ah di dalamnya maka tentu larangan itu menjadi larangan tahrim tentang masalah yang kebutuhan tidak menuntut kita pada hal tersebut. Maka bagaimana tidak kalaulah tentang masalah yang merupakan hal yang bathil ?!
Yang kedua, para ulama berbeda pendapat di dalam mengkafirkannya dan isi qosihidah itu memang belum sampai pada tingkat ini. Adapan kalau dilakukan dengan sangat berlebihan maka di dalam status ikhtilaf-nya ini harus dipertimbangkan lagi.
Adapun Yang ketiga maka kita tahu dengan pasti bahwa ketiga golongan itu – Syafiyyah, Malikiyyah, dan hanafiyyah – serta orang-orang bersetuju dengan mereka itu adalah orang-orang muslim dan bukan orang-orang kafir. Dengan demikian maka pendapat yang menyatakan bahwa semuanya kafir dan menjerumuskan masyarakat kedalam pendapat itu adalah bagaimana tidak menjadi kufur ?! Sementara rosullloh sollallohu 'alaihi wasallam pernah bersabda :
" إِذَا قَالَ الْمُسْلِمُ لِأَخِيْهِ يَا كَافِرُ فَقَـدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا " jika berkata seorang muslim kepada saudaranya " wahai kafir !" maka berarti salah seorangnya berbalik menjadi kafir." 
Kenyataannya mengharuskan bahwa sebagian yang dia kafirkan itu adalah muslim. Sementara hadits menetapkan bahwa halnya ada salah seorang yang kembali menjadi kafir. Berarti Yang mengucapkanlah dia yang telah kembali menjadi kafir." Demikianlah sudah apa yang Imam Taqiy Subki katakan dengan panjang lebar, yang konon telah dikutip darinya oleh pensyarah kitab Ihya, Sayyid Murtadlo Zabidi.
Dan Tak henti-hentinya Madzhab Ibnu Taemiyyah dianut dan diakui masyarakat dan mereka menambahkannya perkara lain. Dan tak henti-hentinya pula seiring dengan meliwatnya masa dan bergantinya tahun terus bertambah dan bertambah banyak pengikut dan semakin meluas sehingga muncullah di pertengahan abad ke-12 dari wilayah Najd, Hijaz seorang lelaki yang suka dipanggil Abdul Wahab (1111-1207 H), yang kepadanyalah dinisbatkan Golongan Wahabiyyah. Konon dia penganut madzhab Ibnu Taemiyyah. Dan dia telah menambahkannya beberapa pemikiran bathil, yang kesemuanya ada 10, seperti halnya yang dituturkan oleh Jamil Afandi Sidqi Zahawi dalam risalahnya, Fajar Shodiq, :
1. Menetapkan wajah, tangan, dan arah bagi Dzat Allah Sang Pencipta Subhanahu wa ta'ala dan menjadikannya jisim; benda yang suka bergerak turun dan naik.
2. Mendahulukan dalil naql dari pada akal serta tidak adanya rujukan terhadap akal di dalam urusan-urusan keagamaan, yakni keyakinan-aqidah.
3. Menafikan ijma para ulama dan mengingkarinya.
4. Menafikan dalil qiyas.
5. Tidak bolehnya taqlid kepada para mujtahid dari Imam-imam agama serta mengkafirkan orang yang menaqlidinya.
6. Mengkafirkan mereka yang dia anggap beda haluan dengan mereka dari kalangan kaum muslimin.
7. Melarang bertawasul kepada Allah SWT baik denganKangjeng Rosul sollallohu 'alaihi wasallam ataupun dengan yang lainnya dari para nabi, auliya, dan orang-orang soleh lainnya.
8. Mengharamkan ziarah quburnya para nabi dan orang-orang soleh.
9. Mengkafirkan orang yang bersumpah dengan nama selain Allah dan menghitungkannya sebagai orang musyrik.
10. Mengkafirkan orang yang bernadzar karena selain Allah atau orang yang menyembelih hewan di maqom para nabi.
Dan Muhammad ini mendapat bantuan untuk mengibarkan akidahnya yang menyimpang itu dari Muhammad ibnu Su'ud, pemimpin negri Dzuro'iyyah (negrinya Musaelimah al-Kadzdzab dulu). Selanjutnya pada dialah para raja Su'udiyyah berikutnya dinisbatkan. Kemudian tak henti-hentinya muncul segelintir kelompok orang yang membantu perkembangan Madzhabnya itu dan menyerukan kepada masyarakat untuk mengikuti madzhabnya ini dan selalu saja memberikan penambahan-penambahan pemikiran baru yang mana memang menyalahi Madzhabnya Ahlussunnah wal jama'ah sehingga berhamburanlah kejelekan yang ditimbulkan madzhab ini ke kepulauan Nusantara, Indonesia sampai akhirnya terus tersebar di Negri ini.
Dan tak henti-hentinya para pengikut madzhab ini menentang para Ulama al-Kirom dan selalu berusaha menarik simpati rakyat jelata dengan kata-kata yang mempesona serta menanamkan kecintaan terhadap orang-orang bodoh. Sementara kaum tradisional dan para ulama dikecam dan dilecehkan oleh mereka itu dengan penuh kebencian dan cacimaki. Mereka tak henti-hentinya melakukan hal itu dipedesaan dan kota-kota sehingga terjadi maraknya bahaya dan keruksakan (aqidah dan tatanan keagamaan)…
" وَمَنْ يُضْلِلِ اللهُ فَمَالَهُ مِنْ هَادٍ " Dan barangsiapa yang akan disesatkan oleh Allah maka tiada Baginya yang akan memberi petunjuk." 
 Dan cukuplah kiranya pembahasan ini, Allahlah Sang PengaturTaufiq dan hidayah. Risalah ini selesai, dengan pertolongan Dzat Yang Maha Penyendiri Keagungannya, pada hari Senin Yang diberkahi tanggal 11 Jumadil Tsaniyyah tahun 1381 dari Hijrah Nabi 'ala shohibiha afdlolus Sholaati wassalaam. Semoga Allah SWT memberi pengampunan kepada penyusun, kepada ibu-bapaknya serta ke seluruh kaum muslimin. Amiin !